APAKAH ISLAM
ADALAH AGAMA YANG TOLERAN?
Sebagaimana kita ketahui, di dunia ini terdapat berbagai macam
agama. Setiap kelompok agama menganggap bahwa agama merekalah yang paling benar.
Mereka berpendapat orang yang berada di luar kelompok agama mereka adalah orang
yang sesat. Tidak jarang perbedaan pendapat ini berujung pada pertikaian yang tidak
ada hentinya.
Islam adalah agama toleransi, Rasulullah SAW telah mencontohkan
kepada kita bagaimana bersikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari, dalam berinteraksi
dengan sesama manusia. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah SAW, Islam dikenal
sebagai agama toleransi. Allah SWT telah berfirman dalam QS Al-Anbiya ayat 107 yang
artinya: “Dan tiada-lah kami mengutus kamu,
melainkan (untuk) menjadi rahmat bagi alam semesta”. Islam telah mengajarkan
agar kita dapat hidup berdampingan dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, toleransi berarti kelapangan
dada. Sehingga, toleransi dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan terhadap sesama
manusia baik dalam menentukan sikap dan pola hidupnya, maupun menyangkut keyakinannya,
selama tidak bertentangan dengan syaratsyarat terciptanya ketertiban dan kedamaian
di lingkungan masyarakat (Suaramerdeka.com, 2016)[1].
Toleransi dalam Islam bukan berarti menganggap semua agama
adalah sama. Pemahaman tersebut merupakan suatu kesalahan dalam memahami arti toleransi
yang sebenarnya, karena pemahaman tersebut dapat menyebabkan pencampuran antara
yang hak dan yang batil. Sementara, sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai
dan menghormati keyakinan agama lain di luar Islam, bukan bermaksud untuk menyamakan
dengan keyakinan Islam sendiri (Sofi, 2014)[2]. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Kafirun ayat 1-6, yang artinya:
“(1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! (2) Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah, (3) dan kamu bukan penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah,(6) Untukmu agamau, dan untukku agamaku”.
Salah satu riwayat menyebutkan, sebab turunnya surat
tersebut adalah ketika sekelompok pemuka kafir Quraisy datang menemui Rasulullah
SAW. Kedatangan mereka untuk mengajak Rasulullah SAW bersekutu dalam segala hal,
termasuk dalam peribadahan. Mereka akan menyembah apa yang Rasulullah SAW
sembah dan Rasulullah SAW pun diminta menyembah apa yang mereka sembah. Bahkan,
mereka akan mengangkat beliau sebagai pemimpin. Dengan adanya peristiwa tersebut,
maka turunlah Q.S Al-Kafirun tersebut (Sofi, 2014)[3].
Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bertoleransi
dengan agama-agama yang lain. Akan tetapi, bukan berarti kita harus ikut menyembah
atau mengimani apa yang mereka sembah. Selain itu, kita tidak seharusnya
menganggap semua agama adalah sama, karena agama yang diridhai oleh Allah SWT
hanyalah agama Islam. Islam adalah agama rahmatal
lil’alamiin (rahmat untuk seluruh alam semesta).
Akhir-akhir ini ada beberapa kasus yang muncul, mereka salah
dalam memahami arti dari kata toleransi. Salah satu kasus yang paling hangat adalah
rencana kegiatan buka puasa bersama di lingkungan tempat ibadah suatu agama selain
Islam. Mereka menjadikan kata toleransi sebagai dasar pemikiran mereka. Bahkan,
mereka dapat memanfaatkan media masa sebagai pelindung mereka. Sehingga, banyak
umat Islam yang tidak ragu menganggap gagasan tersebut bukanlah sebuah
kesalahan. Melainkan, gagasan tersebut adalah salah satu bentuk sikap toleransi
antarumat beragama. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui bukankah ibadah puasa
Ramadan itu hanya dilaksanakan oleh umat Islam, sehingga buka puasa juga hanya dilakukan
oleh kaum muslim. Apabila buka puasa dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah umat
beragama lain, maka akan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan elemen umat beragama.
Selain itu, buka puasa merupakan salah satu bentuk ibadah kaum muslimin. Oleh
karena itu ibadah, maka tidak ada yang boleh beribadah dengan coba-coba.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 120 yang artinya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. Dari ayat tersebut
mencerminkan bahwa mereka, orang-orang Yahudi dan Nasrani (orang-orang non-Islam) berupaya untuk memurtadkan
umat Islam, berusaha untuk menjauhkan kaum Muslimin dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka, mereka mencoba memasukkan pendapat-pendapat mereka untuk
mengelabuhi umat Islam supaya semakin jauh dan meninggalkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Memang benar, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar,
perbedaan pendapat bukanlah hal yang harus diperdebatkan, apalagi sampai meretakkan
hubungan antar umat beragama (Al-Qardhawi, 2000)[4].
Akan tetapi, kita tidaklah hanya menerima begitu saja perbedaan pendapat
tersebut, kita harus mencernanya sebelum pendapat tersebut masuk ke dalam
pikiran kita. Apabila perbedaan pendapat tersebut bermaksud untuk menghancurkan
Islam, sudah semestinya kita selaku umat Islam yang cinta Allah SWT dan
Rasul-Nya harus membela Islam sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Meskipun kita harus mencerna terlebih dahulu
pendapat-pendapat yang ada di berbagai kalangan masyarakat, akan tetapi perlu
ditekankan bahwa Islam adalah agama yang toleransi. Kita tidak semestinya
langsung memfonis bahwa pendapat tersebut adalah salah, sebelum kita mengetahui
dasar hukumnya terlebih dahulu. Jika pendapat yang datangnya dari kalangan
non-Islam tersebut memanglah salah dan tidak terdapat dalam apa yang menjadi
dasar hukum di dalam Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), kita pun harus
menghormatinya apabila pendapat tersebut tidak memiliki tujuan untuk
menghancurkan Islam. Karena hal tersebut merupakan sikap toleransi yang dapat
kita lakukan sebagai seorang muslim dan kita harus saling menghormati antarumat
beragama. Bahkan, di negara kita ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
termasuk ke dalam negara dengan umat Islam terbanyak di dunia dikenal dengan
negara yang toleransi. Maka, sudah semestinya kita ikut menjaga apa yang telah
dibangun oleh para pendiri bangsa ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf. 2000. Ijtihad Kontemporer, Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan (terjemahan
Abu Barzani). Surabaya: Risalah Gusti.
Sofi, Khalis. 2014. Tugas
Makalah PAI “Toleransi”. [online]
http://khalissofi.blogspot.co.id/2014/10/tugasmakalahpaitoleransi.html, diakses
tanggal 27 Juni 2016.
Suaramerdeka.com. 2016. Dinamika Toleransi Umat Beragama, media
massa online
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/dinamikatoleransiumatberagama/,
diakses tanggal 26 Juni 2016.
[1] Suaramerdeka.com. 2016. Dinamika Toleransi Umat Beragama, media
massa online http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/dinamikatoleransiumatberagama/,
diakses tanggal 26 Juni 2016.
[2] Sofi, Khalis. 2014. Tugas Makalah PAI “Toleransi”. [online] http://khalissofi.blogspot.co.id/2014/10/tugasmakalahpaitoleransi.html,
diakses tanggal 27 Juni 2016.
[3] Sofi, Khalis. 2014. Tugas Makalah PAI “Toleransi”. [online] http://khalissofi.blogspot.co.id/2014/10/tugasmakalahpaitoleransi.html,
diakses tanggal 27 Juni 2016.
[4] Al-Qardhawi, Yusuf. 2000. Ijtihad Kontemporer, Kode Etik Dan
Berbagai
Penyimpangan
(terjemahan Abu Barzani). Surabaya: Risalah Gusti.